sejarah pulau owi

Rendradaily.com

    Jayapura, (18/11)—Pulau Owi, “Surga” Tersembunyi di Tanah Papua -Pulau Owi memiliki peran yang sangat strategis dalam Perang Dunia Kedua bagi pasukan Sekutu untuk mengalahkan Jepang, di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka tidak berlebihan apabila diimpikan Pulau Owi menjadi titik utama pariwisata di masa depan.

    Apabila, keindahan alam lautnya juga sangat mempesona. Pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi. Dengan demikian Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya, dan menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.

    Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Dari sini, diharapkan dengan strategi “Loncat Katak (frogleap)”, melalui Biak dan Morotai, dapat merebut Filipina.

    Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk itu ditemukanlah sebuah pulau karang yang sangat ideal. Yakni sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar.

    Target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.

    Dalam bukunya “Keajaiban Pulau Owi” itulah Freddy Numberi menguraikan kisah Perang Dunia Kedua terkait dengan peran sejarah Pulau Owi secara detail. Dirangkai pula dengan potensi dan impian indahnya untuk menggali “mutiara” pulau karang yang menarik tersebut menjadi destinasi wisata bagi Papua, lengkap dengan rencana strategisnya.

    Wilayah Tanah Papua memiliki potensi kekayaan pariwisata yang sangat luar biasa besarnya, apabila dikelola secara professional, arif dan bijaksana, hal itu akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi Negara, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat Papua, diantaranya adalah obyek wisata sejarah di Pulau Owi. Pulau Owi memang memiliki potensi besar untuk tumbuh Keajaiban Pulau Owi.

    Dalam rangka pengembangan Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata di Wilayah Tanah Papua, bagi para pengusaha dan kalangan stakeholder yang lain dapat diberikan kemudahan-kemudahan sebagai insentif guna menunjang pembangunan pulau tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memilih Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata berbasis sejarah dan kepariwisataan Papua pada umumnya

Minggu, 29 Desember 2013

sejarah pulau owi

    Jayapura, (18/11)—Pulau Owi, “Surga” Tersembunyi di Tanah Papua -Pulau Owi memiliki peran yang sangat strategis dalam Perang Dunia Kedua bagi pasukan Sekutu untuk mengalahkan Jepang, di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka tidak berlebihan apabila diimpikan Pulau Owi menjadi titik utama pariwisata di masa depan.
    Apabila, keindahan alam lautnya juga sangat mempesona. Pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi. Dengan demikian Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya, dan menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.
    Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Dari sini, diharapkan dengan strategi “Loncat Katak (frogleap)”, melalui Biak dan Morotai, dapat merebut Filipina.
    Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk itu ditemukanlah sebuah pulau karang yang sangat ideal. Yakni sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar.
    Target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.
    Dalam bukunya “Keajaiban Pulau Owi” itulah Freddy Numberi menguraikan kisah Perang Dunia Kedua terkait dengan peran sejarah Pulau Owi secara detail. Dirangkai pula dengan potensi dan impian indahnya untuk menggali “mutiara” pulau karang yang menarik tersebut menjadi destinasi wisata bagi Papua, lengkap dengan rencana strategisnya.
    Wilayah Tanah Papua memiliki potensi kekayaan pariwisata yang sangat luar biasa besarnya, apabila dikelola secara professional, arif dan bijaksana, hal itu akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi Negara, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat Papua, diantaranya adalah obyek wisata sejarah di Pulau Owi. Pulau Owi memang memiliki potensi besar untuk tumbuh Keajaiban Pulau Owi.
    Dalam rangka pengembangan Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata di Wilayah Tanah Papua, bagi para pengusaha dan kalangan stakeholder yang lain dapat diberikan kemudahan-kemudahan sebagai insentif guna menunjang pembangunan pulau tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memilih Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata berbasis sejarah dan kepariwisataan Papua pada umumnya

sejarah pertempuran memperebutkan henderson field



Pertempuran memperebutkan Henderson FieldBagian dari Mandala Pasifik pada Perang Dunia II

Mayat para serdadu Angkatan Darat 17 Jepang dan bangkai tank terserak di muara sungai Matanikau setelah serangan mereka yang gagal terhadap posisi Marinir AS pada tanggal 23-24 Oktober 1942
Tanggal      :23-26 Oktober 1942Lokasi         : Guadalcanal di Kepulauan Solomon Koordinat  : 9°25′44″S 160°3′7″T       9.42889°S 160.05194°T      -9.42889; 160.05194
Hasil            : Kemenangan yang menentukan bagi Sekutu (Amerika Serikat)
Pihak Yang Bertikai
 Amerika Serikat Kekaisaran Jepang
Komandan
Alexander Vandegrift,
Chesty Puller
Harukichi Hyakutake,
Masao Maruyama
Yumio Nasu   †
Kekuatan Pasukan
23,088[1]20,000[2]
Korban Jiwa dan Kerugian
61–86 gugur,
1 kapal tunda,
1 kapal patroli karam,
3 pesawat hancur[3][4]
2,200–3,000 gugur,
1 kapal penjelajah karam,
14 pesawat hancur
Pertempuran memperebutkan Henderson Field, juga dikenal sebagai Pertempuran Henderson Field atauPertempuran Lunga Point oleh pihak Jepang, terjadi pada tanggal 23-26 Oktober 1942 di dan di sekitar Guadalcanal di Kepulauan Solomon. Pertempuran tersebut adalah pertempuran darat, laut dan udara pada kampanye Pasifik Perang Dunia II dan melibatkan AD dan AL Kekaisaran Jepang dan pasukan Sekutu (Terutama Marinir dan AD AS). Pertempuran tersebut adalah pertempuran ke tiga dari tiga ofensif darat besar yang dilakukan pihak Jepang selama kampanye Guadalcanal.
Pada pertempuran itu, pasukan AD dan Marinir AS dibawah komando Mayjen Alexander Vandegrift, berhasil menangkal serangan oleh Angkatan Darat 17 Jepang dibawah komando Letjen Harukichi Hyakutake. Pasukan AS sedang mempertahankan parameter Lunga, yang menjagai Henderson Field di Guadalcanal, yang telah direbut dari Jepang oleh Sekutu pada pendaratan di Guadalcanal pada tanggal 7 Agustus 1942. Pasukan Hyakutake dikirim ke Guadalcanal untuk merespon pendaratan Sekutu dan dengan misi untuk merebut kembali lapangan terbang tersebut dan mengusir pasukan Sekutu dari Guadalcanal.
Pasukan Hyakutake melakukan sejumlah besar penyerangan selama tiga hari di berbagai lokasi sekitar parameter Lunga, tapi semuanya gagal dengan kerugian besar di pihak Jepang. Pada saat yang sama, pesawat Sekutu yang beroperasi dari Henderson Field berhasil membela posisi-posisi pasukan AS di Guadalcanal dari serangan pasukan udara dan laut Jepang.
Pertempuran tersebut adalah ofensif darat serius yang terakhir dilakukan oleh pasukan Jepang di Guadalcanal. Setelah sebuah usaha untuk mengirim bala bantuan gagal selama Pertempuran Laut Guadalcanal pada bulan November 1942, Jepang mengakui kekalahannya dan berhasil mengungsikan banyak dari sisa-sisa pasukannya pada minggu pertama bulan Februari 1943.

Latar Belakang

Kampanye Guadalcanal

Pada tanggal 7 Agustus 1942, pasukan Sekutu (sebagian besar dari AS) mendarat di Guadalcanal, Tulagi, dan Kepulauan Florida di Kepulauan Solomon. Pendaratan-pendaratan di pulau-pulau ini dimaksudkan untuk menghalangi Jepang untuk menggunakannya sebagai pangkalan untuk mengancam rute pasokan antara Amerika dan Australia, dan untuk mengamankan pulau-pulau tersebut sebagai titik awal sebuah kampanye yang bertujuan akhir mengisolasi pangkalan utama Jepang di Rabaul sekaligus mendukung kampanye Sekutu di New Guinea. Pendaratan-pendaratan tersebut mengawali kampanye Guadalcanal yang berlangsung selama enam bulan.
Dengan mengejutkan pihak Jepang, pada malam hari tanggal 8 Agustus, 11.000 serdadu Sekutu dibawah komando Letjen Alexander Vandegrift dan sebagian besar terdiri dari unit-unit Korps Marinir AS, telah mengamankan Tulagi dan pulau-pulau kecil di dekatnya, sekalian juga sebuah lapangan udara yang sedang dibangun di Lunga Point di Guadalcanal. Lapangan udara tersebut kemudian dinamai Henderson Field oleh pasukan Sekutu. Pesawat Sekutu yang kemudian beroperasi dari lapangan udara tersebut menjadi dikenal sebagai “Angkatan Udara Kaktus” (Cactus Air Force/CAF) yang merupakan nama kode Sekutu untuk Guadalcanal. Untuk melindungi lapangan udara tersebut, Marinir AS mendirikan parameter pertahanan di sekitar Lunga Point.
Sebagai tanggapan terhadap pendaratan Sekutu di Guadalcanal, Mabes Umum Kekaisaran Jepang menugaskan Angkatan Darat 17 Kekaisaran Jepang, komando setara korps yang berpangkalan di Rabaul dan dibawah komando Letjen Harukichi Hyakutake, dengan tugas merebut kembali Guadalcanal dari tangan Sekutu. Dimulai pada tanggal 19 Agustus, berbagai kesatuan dari AD 17 mulai tiba di Guadalcanal dengan tujuan mengusir pasukan Sekutu dari pulau itu.

Henderson Field di Guadalcanal di akhir Agustus 1942 segera setelah pesawat Sekutu mulai beroperasi dari situ

Serdadu Jepang sedang menaiki Tokyo Express.
Karena ancaman dari pesawat CAF yang berpangkalan di Henderson Field, Jepang tak dapat menggunakan kapal-kapal transport yang besar dan lamban untuk mengantarkan tentara dan pasokan ke pulau tersebut. Malahan, Jepang menggunakan kapal-kapal perang yang berpangkalan di Rabaul dan Kepulauan Shortland untuk membawa pasukan mereka ke Guadalcanal. Kapal-kapal perang Jepang, sebagian besar berupa penjelajah ringan dan perusak dari Armada VIII dibawah komando Laksamana Muda Gunichi Mikawa, biasanya dapat melakukan perjalanan pulang-pergi melalui ”Celah (The Slot)” ke Guadalcanal dan kembali dalam satu malam, dengan itu meminimalisasi kerentanan mereka terhadap serangan udara dari CAF. Mengantarkan pasukan dengan cara ini, bagaimanapun, menghalangi sebagian besar peralatan berat dan logistik, seperti artileri berat, kemdaraan, dan banyak makanan dan amunisi, untuk dibawa ke Guadalcanal. Pergerakan kapal-kapal perang berkecepatan tinggi ini terjadi sepanjang kampanye dan kemudian disebut sebagai ”Tokyo Express” oleh pasukan Sekutu ”Pengangkut Tikus” oleh pihak Jepang
Percobaan pertama Jepang untuk merebut kembali Henderson Field gagal ketika pasukan sebesar 917 orang dikalahkan pada tanggal 21 Agustus di Pertempuran Tenaru. Percobaan berikutnya terjadi dari tanggal 12 sampai 14 September 14, dengan kekuatan 6.000 serdadu dibawah komando Mayjen Kiyotake Kawaguchi dikalahkan di Pertempuran Edson’s Ridge. Setelah kekalahan mereka di Edson’s Ridge, Kawaguchi dan pasukan Jepang yang masih tersisa berkumpul kembali di barat Sungai Matanikau di Guadalcanal.
Hyakutake segra mulai menyiapkan percobaan berikutnya untuk merebut kembali Henderson Field. AL Jepang menjanjikan dukungan bagi ofensif Hyakutake yangberikutnya dengan cara mengantarkan pasukan, peralatan dan logistik yang diperlukan ke pulau tersebut dan dengan meningkatkan serangan udara terhadap Henderson Field dan mengirim kapal perang untuk membombardir lapangan udara itu.
Ketika pihak Jepang sedang berkumpul kembali, pasukan AS berkonsentrasi untuk memperkuat pertahanan mereka di Lunga. Pada tanggal 18 September, sebuah konvoi laut Sekutu mengantarkan 4.157 serdadu dari Resimen 7 Marinir AS ke Guadalcanal. Resimen ini sebelumnya merupakan bagian dari Brigade Provisonal Marinir dan baru dibebaskan dari tugas garnisun di Samoa. Bala bantuan ini memungkinkan Vandegrift, dimulai pada tanggal 19 September, untuk mendirikan garis pertahanan yang tak terputus di sekeliling parameter Lunga.
Jenderal Vandegrift dan stafnya mengetahui kalau pasukan Kawaguchi telah mundur ke arah barat Matanikau dan sejumlah besar kelompok tentara Jepang yang terpisah dari kesatuannya tersebar di selutruh area antara Parameter Lunga dan Sungai Matanikau. Maka dari itu, Vandegrift memutuskan untuk melakukan serangkaian operasi kesatuan kecil di sekitar Lembah Matanikau.

Jenderal Vandegrift di tenda komandonya di Guadalcanal
Operasi pertama Marinir AS melawan pasukan Jepang di barat Matanikau, dilakukan pada tanggal 23 sampai 27 September 1942 oleh elemen-elemen dari tiga batalion Marinir AS, dipukul mundur oleh pasukan Kawaguchi pimpinan Kolonel Akinosuke Oka. Pada aksi ke dua, dari tanggal 6 sampai 9 Oktober, pasukan Marinir AS dalam jumlah yang lebih besar berhasil menyeberangi Sungai Matanikau, menyerang pasukan Jepang yang baru saja mendarat dari Divisi Infantri 2 (Sendai) dibawah komando Jenderal Masao Maruyama dan Yumio Nasu dan menyebabkan jatuhnya sejumlah besar korban di Resimen Infantri 4 Jepang. Aksi ke dua ini memaksa Jepang untuk mundur dari posisi mereka di timur Matanikau.
Pada saat yang sama, Mayjen Millard F. Harmon, komandan pasukan AD AS di Pasifik Selatan, meyakinkan Laksamana Muda Robert L. Ghormley, komandan pasukan Sekutu di wilayah Pasifik Selatan, bahwa pasukan Marinir AS di Guadalcanal perlu segera diperkuat jika Sekutu ingin berhasil mempertahankan pulau tersebut dari ofensif Jepang yang berikutnya. Maka pada tanggal 13 Oktober, sebuah konvoi laut mengantarkan Resimen Infantri 164 AS yang berkekuatan 2.837 orang, yang merupakan formasi Garda Nasional AD North Dakota dari Divisi Amerika AD AS ke Guadalcanal
Kapal-kapal Mikawa terus melakukan pengiriman pasukan dan material pada malam hari ke Guadalcanal. Antara tanggal 1-17 Oktober konvoi-konvoi Jepang mengantarkan 15.000 serdadu Jepang, terdiri dari sisa-sisa Divisi Infantri 2 dan satu resimen dari Divisi Infantri 38, plus artileri, tank, amunisi, dan logistik ke Guadalcanal. Salah satu dari konvoi tersebut mengantarkan Jenderal Hyakutake ke pulau tersebut untuk memimpin sendiri pasukan Jepang dalam ofensif yang telah direncanakan. Mikawa juga mengirimkan kapal-kapal penjelajah berat pada beberapa kesempatan untuk membombardir Henderson Field. Salah satu dari misi bombardemen ini berhasil dicegat dan dikalahkan oleh pasukan laut AS pada malam tanggal 11 Oktober pada Pertempuran Tanjung Esperance

Jenderal Harukichi Hyakutake di depan markasnya di Rabaul sebelum keberangkatannya ke Guadalcanal
Pada tanggal 13 Oktober, untuk membantu melindungi transit konvoi logistik yang penting ke Guadalcanal yang terdiri dari kapal-kapal cargo yang lamban, komandan Armada Kombinasi Jepang, Isoroku Yamamoto, mengirimkan pasukan laut dari Truk, yang dipimpin oleh Takeo Kurita, untuk membombardir Henderson Field. Pasukan Kurita, terdiri dari kapal tempur Kongō dan Haruna, dikawal oleh satu penjelajah ringan dan sembilan perusak, mendekati Guadalcanal tanpa terhalang dan mulai menembaki Henderson Field pada pukul 01:33 tanggal 14 Oktober. Satu jam dan 23 menit kemudian, mereka menembakkan 973 buah peluru kaliber 355 mm ke parameter Lunga, sebagian besar jatuh di dan di sekitar wilayah lapangan udara seluas 2.200 m2. Bombardemen tersebut membuat kedua landas pacu lapangan terbang tersebut rusak parah, membakar habis hampir semua persediaan avtur, menghancurkan 48 dari 90 pesawat milik CAF, dan menewaskan 41 orang, termasuk enam awak CAF.
Walupun kerusakannya berat, personil lapangan udara Henderson mampu memperbaiki salah satu landas pacu dalam waktu beberapa jam. Dalam beberapa minggu kemudian, CAF berangsui-angsur pulih karena pasukan Sekutu mengantarkan lebih banyak pesawat, bahan bakar, dan awak pesawat ke Guadalcanal. Mengamati antaran pasukan dan logistik Jepang ke pulau tersebut, pasukan Amerika menanti ofensif oleh pasukan darat Jepang yang mereka belum yakin akan terjadi kapan dan di mana.

Pergerakan Pasukan

Karena kehilangan posisi mereka di sisi timur Matanikau, pihak Jepang memutuskan bahwa sebuah serangan terhadap pertahanan AS di sepanjang pantai akan sangat sulit. Maka, setelah perwira-perwira stafnya mengamati pertahanan Amerika di sekitar Lunga Point, Hyakutake memutuskan bahwa serangan utama yang akan dia lakukan akan dimulai dari selatan Henderson Field. Divisi 2-nya (diperkuat oleh pasukan dari Divisi 38), pimpinan Letjen Masao Maruyama dan terdiri dari 7.000 prajurit di tiga resimen infantri dari masing-masing tiga batalion diperintahkan untuk berbaris menembus hutan dan menyerang pertahanan Amerika dari selatan dekat tepi timur Sungai Lunga. Divisi 2 dipecah menjadi tiga kesatuan; Satuan Sayap Kiri pimpinan Mayjen Yumio Nasu terdiri dari Resimen Infantri 29, Satuan Sayap Kanan pimpinan Mayjen Kiyotake Kawaguchi terdiri dari Resimen Infantri 230 (dari Divisi Infantri 38), cadangan divisi dipimpin oleh Maruyama terdiri dari Resimen Infantri 16.[20]  Serangan akan dilakukan pada tanggal 22 Oktober. Untuk mengalihkan pihak Amerika dari serangan di selatan, artileri berat Hyakutake plus lima batalion infantri (sekitar 2.900 orang) pimpinan Mayjen Tadashi Sumiyoshi akan menyerang pertahanan Amerika dari barat sepanjang koridor pesisir. Pihak Jepang memeperkirakan ada 10.000 serdadu Amerika di pulau tersebut, padahal pada kenyataannya ada sekitar 23.000.
Pada saat itu, parameter Lunga dipertahankan oleh empat resimen Amerika yang terdiri dari 13 batalion infantri. Resimen Infantri 164 menjaga sektor yang paling timur. Memanjang mulai dari sebelah selatan Resimen 164 dan ke barat menyeberangi Edson’s Ridge ke Sungai Lunga dijaga oleh Resimen Marinir 7. Sementara Resimen Marinir 1 dan 5 melindungi sektor di sebelah barat Lunga sampai ke pesisir. Dua batalion pimpinan Letkol William J. McKelvy: Mairinir 1 Batalion 3 dan Marinir 7 Batalion 3 mempertahankan muara Matanikau. Pasukan McKelvy terpisah dari parameter Lunga oleh sebuah celah yang dilindungi oleh patroli.

Pertempuran

Prelude

Parameter Lunga di sekitar Henderson Field pada akhir September 1942 sebelum kedatangan Resimen Infantri 164 AS. Sungai Lunga terletak di tengah-tengah peta. Sungai Matanikau ad di sebelah kiri peta (tidak terlihat).
Pada tanggal 12 Oktober, sebuah kompi zeni Jepang mulai membuka jalur yang disebut “Jalan Maruyama“, mulai dari Matanikau menuju ke bagian selatan parameter Lunga. Jalur tersebut melintasi sekitar 24 km dari dataran yang sulit dilalui di Guadalcanal, termasuk sejumlah besar sungai dan kali, jurang yang dalam dan berlumpur, tebing-tebing curam, dan hutan lebat. Antara tanggal 16 sampai 18 Oktober, Divisi 2 memulai baris mereka di sepanjang Jalan Maruyama Road, dipimpin oleh satuan pimpinan Nasu dan diikuti oleh Kawaguchi kemudian Maruyama. Tiap prajurit diperintahkan untuk membawa satu peluru meriam selain ransel dan senapan mereka sendiri.[23]
Fajar tanggal 20 Oktober, Maruyama mencapai Sungai Lunga. Percaya bahwa kesatuannya berada sekitar 6 km selatan dari lapangan udara, beliau memerintahkan satuan-satuan sayap kiri dan kanan untuk maju sejajar menyusuri Lunga ke utara ke arah garis Amerika dan menetapkan waktu serangan pada pukul 18:00 tanggal 22 Oktober. Bagaimanapun, Maruyama membuat kesalahan. Dia dan pasukannya sebenarnya berjarak13 km selatan lapangan udara. Pada malam hari tanggal 21 Oktober, jelas bagi Maruyama bahwa satuan-satuannya takkan dapat tiba di posisi penyerangan keesokan harinya, jadi beliau menunda serangan menjadi tanggal 23 Oktober dan mengurangi ransum prajuritnya menjadi separuh untuk menghemat makanan yang mulai menipis. Pada malam hari tanggal 22 Oktober, sebagian besar Divisi 2 masih terentang di sepanjang Jalan Maruyama, tapi Maruyama melarang penundaan serangan.
Pada saat itu Sumiyoshi menyiapkan perintahnya untuk menyerang pasukan Amerika dari barat. Pada tanggal 18 Oktober, dia mulai menembaki Henderson Field 15 buah howitzer 150 mm. Apa yang tersisa dari Resimen Infantri 4 pimpinan Kolonel Nomasu Nakaguma mulai berkumpul secara terbuka di dekat Point Cruz (di pesisir sebelah barat Matanikau). Pada tanggal 19 Oktober Kolonel Akinosuka Oka memimpin 1.200 prajurit dari Resimen Infantri 124 miliknya menyeberangi Matanikau dan mulai menyusuri tepi timur menuju dataran tinggi di timur sungai tersebut.
Pada tanggal 23 Oktober, pasukan Maruyama berjuang menembus hutan untuk mencapai garis Amerika. Kawaguchi, berdasarkan inisiatifnya sendiri, mulai memindahkan satuan sayap kanannya ke timur karena yakin bahwa pertahanan Amerika di area itu lebih lemah. Maruyama, melalui salah satu perwira stafnya, memerintahkan Kawaguchi untuk tetap mengikuti rencana penyerangan yang sebenarnya. Ketika beliau menolak, Kawaguchi dicopot dan digantikan oleh Kolonel Toshinari Shoji, komandan Resimen Infantri 230. Malam itu, setelah mengetahui bahwa pasukan sayap kiri dan kanan masih berjuang untuk mencapai garis Amerika, Hyakutake menunda serangan menjadi pukul 19:00 tanggal 24 Oktober. Pihak Amerika masih tidak menyadari pendekatan yang dilakukan oleh pasukan Maruyama.
Pada hari itu Armada Udara 11 Jepang pimpinan Jinichi Kusaka yang berpangkalan di Rabaul mengirimkan 16 bomber dan 28 pesawat tempur Zero untuk menyerang Henderson Field. Sebagai tanggapannya, 24 Wildcat dan empat P-39 dari CAF mengangkasa untuk menghadapi mereka, dengan hasil, “salah satu duel udara terbesar yang pernah terjadi di atas Guadalcanal.” Pihak Jepang kelihatannya kehilangan beberapa pesawat pada hari itu, tapi kerugian sebenarnya tidak diketahui. CAF kehilangan satu Wildcat tapi pilotnya tidak terluka.

Serangan Nakaguma terhadap Matanikau

Sumiyoshi dikabari oleh staf Hyakutake tentang penundaan serangan menjadi tanggal 24 Oktober, tapi tak dapat menghubungi Nakaguma untuk memberitahunya tentang penundaan itu. Maka, fajar tanggal 23 Oktober, dua batalion dari Resimen Infantri 4 Nakaguma dan sembilan tank dari Kompi Tank Independen 1 meluncurkan serangan terhadap pertahanan Marinir AS di muara Matanikau.

Bangkai tank milik Kompi Tank Independen 1 Jepang di muara Matanikau
Tank-tank Nakaguma menyerang berpasangan menyeberangi gundukan pasir di muara Matanikau di balik perlindungan artileri. Meriam anti-tank 37 mm dan artileri milik Marinir dengan cepat menghancurkan kesembilan tank tersebut. Pada saat yang sama, empat batalion artileri Marinir, berjumlah 40 howitzer, menembakkan lebih dari 6.000 peluru ke area antara Point Cruz dan Matanikau, menyebabkan jatuhnya banyak korban di batalion infantri Nakaguma ketika mereka mencoba mendekati garis Marinir. Serangan Nakaguma berakhir pada pukul 01:15 tanggal 24 Oktober, dan hanya menjatuhkan sedikit korban di pihak Marinir dan tidak maju selangkah pun.
Sebagian karena untuk merespon serangan Nakaguma, pada tanggal 24 Oktober Batalion 2 dari Marinir 7 pimpinan Letkol Herman H. Hanneken dikerahkan ke Matanikau. Setelah pasukan Oka terlihat mendekati posisi Marinir di Matanikau dari selatan, batalion Hanneken ditempatkan di sebuah tebing yang menghadap selatan yang membentuk perpanjangan sambungan dari garis sisi pertahanan Marinir di Matanikau yang berbentuk tapal kuda. Bagaimanapun, sebuah celah masih ada di antara sisi kiri (timur) Hannekan dan parameter utama.

Serangan pertama Maruyama terhadap parameter

Dengan penempatan batalion Hanneken’, 700 prajurit Batalion 1 dari Marinir 7 pimpinan Letkol Chesty Puller ditinggal sendirian untuk mempertahankan garis sepanjang 2,286 m di sisi selatan parameter Lunga yang terletak di timur Sungai Lunga. Menjelang tengah malam tanggal 24 Oktober, patroli Marinir mendeteksi pasukan Maruyama yang sedang mendekat, tapi sudah terlambat bagi Marinir untuk mengatur kembali posisi mereka.

Peta pertempuran, tanggal 23-26 Oktober. Sumiyoshi dan Oka menyerang di barat di Matanikau (kiri) sementara Divisi 2 Maruyama menyerang parameter Lunga dari selatan (kanan)
Pada pukul14:00 tanggal 24 Oktober, satuan-satuan sayap kiri dan kanan Maruyama memulai serangan mereka. Pasukan Maruyama hanya memiliki sedikit sekali dukungan artileri dan mortir untuk serangan mereka, setelah meninggalkan sebagian besar meriam berat mereka di sepanjang Jalan Maruyama Road. Antara pukul 16:00 dan 21:00, hujan lebat turun, menunda pendekatan pihak Jepang dan menimbulkan ”kekacauan” di formasi pihak Jepang, yang telah kelelahan karena berbaris lama menembus hutan.[32] pasukan sayap kanan Shoji tak sengaja berbelok sejajar dengan garis Marinir, dan semua kecuali satu batalion gagal menemukan pertahanan Marinir. Batalion 1 Shoji dari Resimen Infantri 230 “bertumbukan” dengan garis Puller sekitar pukul 22:00 dan dihalau oleh anak buah Puller. Untuk alasan yang tidak diketahui, staf Maruyama kemudian melapor ke Hyakutake bahwa anak buah Shoji telah menguasai Henderson Field. Pada pukul 00:50 tanggal 25 Oktober, Hyakutake mengabari Rabaul bahwa, “Sesaat sebelum pukul 23:00 Sayap Kanan merebut lapangan udara.”
Pada sekitar saat itu, batalion sayap kiri Nasu akhirnya mulai mencapai pertahanan Marinir. Pada pukul 00:30 tanggal 25 Oktober, Kompi 11 dari Batalion 3 Nasu pimpinan Kapten Jiro Katsumata menemukan dan menyerang Kompi A batalion Puller. Serangan Katsumata dihambat oleh lapisan tebal kawat berduri yang ditaruh di depan garus Marinir dan kemudian ditembaki dengan gencar oleh senapan mesin, mortir dan artileri Amerika. Pada pukul 01:00, tembakan Marinir telah menewaskan sebagian besar anggota kompi Katsumata.
Lebih jauh ke barat, Kompi 9 dari Batalion 3 Nasu menyerbu langsung ke Kompi C Puller pada pukul 01:15. Dalam waktu lima menit, sebuah seksi senapan mesin Marinir dipimpin oleh Sersan John Basilone menewaskan hampir semua anggota Kompi 9. Pada pukul 01:25 tembakan gencar dari artileri divisi Marinir jatuh ke rute kumpul dan pendekatan pasukan Nasu, memakan korban besar
Menyadari bahwa sebuah serangan besar dari pihak Jepang sedang terjadi, Puller meminta bala bantuan. Pada pukul 03:45, Batalion 3 dari Resimen Infantri164 pimpinan Letkol Robert Hall yang sedang dicadangkan, dikirimkan sedikit demi sedikit ke garis Puller. Walaupun dalm kegelapan dan diselingi hujan lebat, Pasukan Garda Nasional AD berhasil ditempatkan di garis pertahanan Puller sebelum fajar tiba.
Sesaat sebelum fajar, Kolonel Masajiro Furimiya, komandan dari Resimen Infantri 29, dengan dua kompi dari Batalion 3-nya plus staf markasnya dapat menembus tembakan artileri Marinir dan mencapai garis Puller pada pukul 03:30. Sebagian besar pasukan Furimiya tewas selama penyerangan, tapi sekitar 100 orang berhasil menerobos pertahanan pihak Amerika dan membuat kantong pertahanan selebar137 m dan sedalam 91 m di tengah-tengah garis Puller. Setelah matahari terbit, Batalion 2 Furimiya bergabung dalam penyerbuan terhadap Puller, tapi dipukul mundur. Pada pukul 07:30, Nasu memutuskan untuk menarik mundur sebagian besar dari pasukannya yang tersisa ke hutan dan menyiapkan serangan lain untuk malam harinya.
Pada siang hari tanggal 25 Oktober, anak buah Puller menyerang dan membasmi kantong pertahanan di garis mereka dan memburu kelompok-kelompok kecil penyusup Jepang, menewaskan 104 serdadu Jepang. Lebih dari 300 oran naka buah Maruyama tewas dalam serangn pertama mereka ke parameter Lunga. Pada pukul 04:30, Hyakutake menyangkal  berita direbutnya Henderson Field, tapi pada pukul 07:00 menyatakan bahwa hasil dari serangan Maruyama tidak diketahui.

Serangan laut dan udara

Pesawat tempur F4F Wildcat milik Marinir AS berangkat dari Henderson Field untuk menyerang pasukan Jepang
Armada 8 Jepang telah menyiapkan satgas yang siap mendukung serangan AD ke Guadalcanal. Setelah menerima pesan dari Hyakutake yang menyatakan sukses pada pukul 00:50 tanggal 24 Oktober, satgas tersebut beraksi. Penjelajah ringan Sendai dan tiga perusak berpatroli di barat Guadalcanal untuk menghadapi kapal-kapal Sekutu yang mencoba mendekati pulau tersebut. Satuan Serbu Pertama terdiri dari tiga buah perusak dan Satuan Serbu Kedua terdiri dari penjelajah ringan Yura dan lima perusak mendekati Guadalcanal untuk menyerang kapal-kapal Sekutu di lepas pantai utara atau timur dan untuk menyediakan dukungan artileri bagi pasukan Hyakutake.
Pada pukul 10:14, Satuan Serbu Pertama tiba di lepas pantai Lunga Point dan mengusir dua kapal perusak tua AS yang dirubah menjadi penyapu ranjau, Zane and Trevor, yang sedang mengantarkan avtur ke Henderson Field. Kapal-kapal perusak Jepang kemudian melihat dan mengaramkan kapal tunda AS Seminole dan kapal patroli YP-284sebelum memulai bombardemen mereka terhadap posisi AS di sekitar Lunga Point. Pada pukul 10:53, sebuah meriam pantai Marinir mengenai dan merusak salah satu dari kapal perusak tersebut, Akatsuki ketiga perusak lainnya mundur sambil ditembaki oleh oleh empat pesawat tempur Wildcat CAF.
Ketika Satuan Serbu Kedua mendekati Guadalcanal melalui Selat Indispensable, mereka diserang oleh lima pembom tukik SBD Dauntless CAF. Hantaman bom membuat Yura rusak berat, dan satuan tersebut berbalik arah untuk kabur. Makin banyaknya serangan udara CAF terhadap Yura sepanjang hari itu menyebabkan kerusakan yang lebih parah, dan kapal penjelajah tersebut ditinggalkan dan dilumpuhkan oleh awaknya sendiri pada pukul 21:00.
Sementara, 82 pembom dan pesawat tempur Jepangdari Armada Udara 11 dan dari kapal induk Junyō dan Hiyōmenyerang Henderson Field dalam enam gelombang sepanjang hari dan dihadapi oleh pesawat tempur CAF dan meriam anti serangan udara Marinir. Menjelang petang pihak Jepang telah kehilangan 11 pesawat tempur, 2 pembom, dan satu pesawat pengintai sekaligus dengan sebagian besar awaknya. Dua pesawat tempur CAF hancur pada pertempuran hari itu tapi kedua pilotnya selamat. Serangan udara Jepang hanya menyebabkan kerusakan ringan di Henderson Field dan di pertahanan pihak Amerika. Tentara Amerika kemudian menyebut hari itu sebagai ”Dugout Sunday (hari Minggu berlindung)” karena serangan udara, laut dan artileri Jepang yang terus-menerus membuat tentara-tentara yang bertahan di Lunga tak bisa keluar dari lubang perlindungan mereka sepanjang hari itu.

Serangan ke dua Maruyama terhadap parameter

Sepanjang hari pada tanggal 25 Oktober, Pihak Amerika menyusun kembali dan menyempurnakan pertahanan mereka untuk menghadapi serangan Jepang yang diperkirakan datang pada malam harinya. Di barat, Hanneken dan Marinir 5 menutup celah di antara mereka. Di sepanjang bagian selatan dari parameter, pasukan Puller dan Hall berpisah dan mengatur kembali posisi mereka. Anak buah Puller memperkuat sektor barat sepanjang 1,280 m dan para prajurit dari Resimen Infantri 164 memperkuat bagian timur sepanjang 1,006 m. Cadangan divisi, yaitu Batalion 3 dari Resimen Marinir 2 ditempatkan tepat di belakang posisi Hall dan Puller.
Maruyama mengerahkan pasukan cadangannya, yaitu Resimen Infantri 16, ke satuan sayap kiri Nasu. Dimulai pukul 20:00 tanggal 25 Oktober sampai fajar tanggal 26 Oktober Resimen Infantri 16 dan sisa-sisa satuan Nasu melakukan sejumlah besar serangan frontal yang selalu dimentahkan ke garis pertahanan Puller dan Hall. Tembakan senapan, senapan mesin, mortir, artileri dan peluru gotri dari meriam anti-tank 37 mm milik Marinir dan AD AS “membabat habis” anak buah Nasu. Kolonel Toshiro Hiroyasu, komandan Resimen Infantri 16, dan sebagian besar stafnya termasuk empat komandan batalion Jepang gugur dalam penyerangan tersebut. Nasu sendiri tertembak dan meninggal beberapa jam kemudian. Beberapa kelompok kecil anak buah Nasu menerobos garis pertahanan Amerika, termasuk satu yang dipimpin oleh Kolonel Furimiya, tapi semuanya diburu dan dibunuh beberapa hari kemudian. Satuan sayap kanan Shoji tidak ikut dalam penyerangan tersebut, mereka lebih memilih untuk tetap di tempat untuk melindungi sisi kanan Nasu dari kemungkinan serangan dari pasukan AS yang tak pernah terjadi.

Serangan Oka


Peta serangan Oka pada tebing yang dipertahankan oleh batalion Hanneken
Pada pukul 03:00 tanggal 26 Oktober, satuan Oka akhirnya mencapai dan menyerang pertahanan Marinir di dekat Matanikau. Pasukan Oka meyerbu di sepanjang tebing dari timur ke barat yang dipertahankan oleh batalion Hanneken tapi terkonsentrasi pada Kompi F Hanneken yang memepertahankan sisi paling kiri posisi Marinir di tebing itu. Sebuah seksi senapan mesin Kompi F pimpinan Mitchell Paige menewaskan banyak tentara Jepang, tapi tembakan balasan Jepang akhirnya menewaskan atau mencederai hampir semua penembak senapan mesin Marinir. Pada pukul 05:00, Batalion 3 dari Resimen Infantri 4 milik Oka berhasil mendaki lereng curam tebing tersebut dan mendesak anggota Kompi F yang tersisa menjauh dari tebing itu.
Menanggapi keberhasilan Jepang merebut bagian tebing itu, Mayor Odell M. Conoley, perwira pelaksana batalion Hanneken segera mengumpulkan satuan serangan balasan yang terdiri dari 17 orang, termasuk spesialis komunikasi, pengurus barak, seorang koki, dan seorang anggota band. Pasukan kecil Conoley ditambah lagi olah elemen-elemen dari Kompi G, Kompi C, dan beberapa anggota Kompi F yang tidak cedera dan menyerang pasukan Jepang sebelum mereka dapat mengkonsolidasi posisi mereka di puncak tebing itu. Pada pukul 06:00, pasukan Conoley telah mendesak Jepang mundur dari tebing itu dan secara efektif mengakhiri serangan Oka. Marinir menghitung 98 mayat tentara Jepang di tebing dan 200 lagi di jurang di depannya. Satuan Hanneken menderita kerugian 14 tewas dan 32 luka-luka.

Aftermath

Mundur

Pada pukul 08:00 tanggal 26 Oktober, Hyakutake membatalkan rencana serangan selanjutnya dan memerintahkan pasukannya untuk mundur. Anak buah Maruyama menyelamatkan rekan-rekan mereka yang terluka dari dekat garis Amerika pada malam hari tanggal 26-27 Oktober dan mulai bergerak mundur jauh ke dalam hutan. Pihak Amerika mengumpulkan kemudian mengubur atau membakar secepat mungkin mayat-mayat anak buah Maruyama yang berjumlah 1.500 orang yang berserakan di depan garis-garis pertahanan Pullers dan Hall. Cerita salah satu anggota AD AS, John E. Stannard, tentang pemandangan setelah pertempuran, “Pembantaian di medan tempur itu adalah pemandangan yang mungkin hanya prajurit tempur yang pernah bertarung dalam jarak dekat bisa benar-benar memahaminya dan melihatnya tanpa merasa ngeri. Salah satu prajurit, setelah berjalan di antara mayat-mayat serdadu Jepang, berkata pada rekannya: ‘Ya Tuhan, benar-benar pemandangan yang seram. Banyak mayat berserakan mulai dari pojok garis pertahanan sampai ke pinggir hutan sepanjang setengah mil.’
Jenazah para prajurit dari Resimen 16 dan 29 Jepang memenuhi medan pertempuran setelah serangan mereka yang gagal pada tanggal 25-26 Oktober
Pasukan sayap kiri Maruyama yang selamat diperintahkan untuk mundur ke daerah sebelah barat Sungai Matanikau sementara pasukan sayap kanan Shoji diperintahkan untuk menuju ke Koli Point, di sebelah timur parameter Lunga. Para prajurit sayap kiri yang telah kehabisan makanan beberap hari sebelumnya, mulai mundur pada tanggal 27 Oktober. Selama bergerak mundur, banyak prajurit Jepang yang terluka tewas karena luka-lukanya dan dimakamkan di pinggir jalan Maruyama. Salah satu anak buah Maruyama, Letnan Keijiro Minegishi, menulis di buku hariannya, “Tak pernah terbayangkan oleh saya bahwa kami akan mundur melalui jalan bergunung-gunung dan menembus hutan yang sama dengan yang kita pernah kami lewati dengan antusias… kami belum makan selama tiga hari dan bahkan untuk berjalan pun sulit. Di puncak bukit tubuhku goyah dan tak mampu berjalan. Aku harus beristiharat tiap dua meter.”
Elemen utama dari Divisi 2 mencapai wilayah mabes AD ke-17 di Kokumbona, sebelah barat Matanikau pada tanggal 4 November. Pad hari yang sama, kesatuan Shoji mencapai Koli Point dan berkemah. Divisi 2 yang jumlah anggotanya menyusut karena gugur, terluka, kurang gizi dan terkena penyakit tropis menjadi tak mampu melakukan tindakan ofensif dan akan bertempur sebagai pasukan bertahan sampai akhir kampanye. Pada akhir bulan November, Pasukan AS menghalau pasukan Shoji dari Koli Point kembali ke wilayah Kokumbuna, dengan patroli Marinir berkekuatan satu batalion menyerang dan mengusik mereka sepanjang perjalanan ke sana. Hanya sekitar 700 dari 3.000 orang anak buah Shoji yang akhirnya berhasil kembali ke Kokumbuna

Pertempuran Kepulauan Santa Cruz

Pada saat yang sama ketika pasukan Hyakutake menyerang parameter Lunga, kapal-kapal induk Jepang dan kapal-kapal perang besar lainnya dibawah komando Isoroku Yamamoto bergerak ke posisi di selatan Kepulauan Solomon. Dari lokasi ini, pasukan laut Jepang berharap untuk menghadapi dan mengalahkan setiap pasukan laut Sekutu (yang sebagian besar terdiri dari kapal-kapal AS), terutama pasukan kapal induk, yang menanggapi serangan darat Hyakutake. Pasukan kapal induk Sekutu di wilayah tersebut, sekarang dipimpin oleh William Halsey, Jr. Yang dipilih untuk menggantikan Ghormley, juga berharap untuk bertempur dengan  pasukan laut Jepang.
Kedua pasukan kapal induk yang berseteru ini akhirnya berhadapan satu sama lain pada pagi ahri tanggal 26 Oktober, yang kemudian dikenang sebagai Pertempuran Kepulauan Santa Cruz. Setelah saling serang antar kapal induk, kapal-kapal Sekutu terpaksa mundur dari pertempuran dengan kerugian satu kapal induk karam dan yang lainnya rusak berat. Pasukan kapal induk Jepang, bagaimanapun, juga mundur dari pertempuran karena banyaknya pesawat yang hancur dan pilot yang gugur dan dua kapal induk mereka rusak parah. Walaupun Jepang menang secara taktis dalam hal mengaramkan dan merusak kapal lawan, gugurnya sekian banyak pilot veteran memberikan keuntungan strategis jangka panjang bagi Sekutu, yang hanya kehilangan sedikit pilot dalam pertempuran tersebut.

Lapangan Henderson pada bulan Agustus 1944 setlah dikembangkan menjadi pangkalan udara besar

Kejadian-kejadian berikutnya

Walaupun serangan AD Jepang terhadap parameter Sekutu di Lunga berhasil dipatahkan dalam pertempuran ini, Jepang belum siap untuk menghentikan perjuangan untuk mempertahankan Guadalcanal. AD dan AL Jepang segera membuat rencana untuk menggerakkan keseluruhan dari Divisi 38 ke pulau tersebut beserta Divisi Infantri 51, untuk mencoba melakukan ofensif lebih lanjut terhadap Henderson Field pada bulan November 1942.
Jepang kembali berencana untuk membombardir Henderson Field dengan menggunakan kapal tempur agar konvoi kapal transport dapat mengantarkan personel dan perlengkapan berat Divisi 38. Sebaliknya, bagaimanapun, pada tanggal 14 Oktober AL AS bergerak untuk mencegat pasukan kapal tempur yang dikirim oleh Yamamoto dari Truk untuk memborbardir lapangan udara tersebut. Selama pertempuran laut Guadalcanal mulai dari tanggal13 – 15 November, pasukan laut dan udara Sekutu menggagalkan dua percobaan Jepang untuk memborbardir Henderson Field dan hampir menghancurkan secara total konvoi transport yang membawa sisa dari Divisi 38. Setelah gagal mengantarkan pasukan tambahan yang berarti bagi pertahanan pulau, para komandan Jepang akhirnya mengaku kalah dalam pertempuran Guadalcanal dan mengevakuasi sebagian besar dari tentara mereka yang masih hidup sebelum minggu pertama bulan Februari 1943. Setelah berhasil di Guadalacanal dan di tempat lainnya, Sekutu melanjutkan kampanye mereka melawan Jepang, yang akhirnya berpuncak pada kekalahan Jepang dan berakhirnya Perang Dunia II.

Sabtu, 28 Desember 2013

sejarah rpkad vs sas

Pertempuran Kopassus VS SAS di Kalimantan

 http://rendraprasetia.blogspot.com/  18.4.13
Tanggal 16 April kemaren Komando Pasukan Khusus TNI AD berulang tahun. Banyak cerita menarik seputar operasi militer dan sejarah pasukan elit ini.

Tahun 1963 Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno memerintahkan Panglima TNI menggelar Operasi Dwikora untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia.



Pasukan RPKAD sekarang Kopassus dalam penugasan misi Dwikora di Kalimantan (foto :museumindo.wordpress.com )

Tidak ada pernyataan perang resmi seperti saat operasi militer Trikora merebut Irian Barat. Karena itu TNI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.

Walau disebut gerilyawan, sebagian besar anggotanya justru pasukan elit TNI. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang disebut Kopassus. Selain itu ada juga Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU. Seragam TNI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Indonesia.

"Semua identitas TNI dicabut. Jangan sampai ketahuan kami pasukan TNI. Kami dibuatkan identitas baru, pokoknya kelahiran Kalimantan. Pakaian TNKU hijau-hijau dengan topi rimba," kata Nadi, seorang bintara mantan anggota RPKAD saat berbincang dengan merdeka.com.

Tugas gerilyawan ini mengganggu perbatasan di sepanjang Sabah dan Serawak. Mereka juga bertugas melatih warga Kalimantan Utara tata cara bertempur.

Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan Inggris. Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS). Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia. Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.


Pasukan SAS Inggris yang diterjunkan di Borneo (Kalimantan)

Komandan Pasukan Inggris di Malaya, Mayor Jenderal Walter Walker merasa perlu mendatangkan SAS karena merasa hanya pasukan elite ini yang bisa membendung pasukan gerilya asal Indonesia. Walker tak mau jatuh korban lebih banyak di kalangan Inggris.

Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru. Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut. Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran. Kadang gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha. Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.

Dalam sebuah pertempuran di Kampung Sakilkilo tanggal 10 Juli 1964, tercatat TNKU meraih kemenangan. Saat itu dua peleton Gurkha melawan satu peleton TNKU. Dalam serangan tersebut, TNKU berhasil menewaskan 20 orang Gurkha tanpa satu pun korban jatuh di pasukan gerilyawan.

Dalam sebuah misi yang lain, kepala Komandan Pasukan Gerilya Mayor Benny Moerdani sempat dibidik penembak jitu SAS. Untungnya SAS tak jadi melakukan tembakan. Kalau gugur di Serawak, tentu Benny kemudian tak akan jadi Panglima ABRI di kemudian hari.

Pasukan Indonesia pun sempat menangkap prajurit SAS dalam sebuah pertempuran. Rencananya tawanan ini akan dibawa ke Jakarta sebagai bukti ada keterlibatan Inggris. Namun karena sulitnya medan, tawanan ini keburu tewas di jalan.

Dari pertempuran di Kalimantan ini pula kemudian SAS belajar mengembangkan taktik gerilya bertempur di hutan. Kalau tak pernah berhadapan dengan pasukan elit Indonesia, mereka tak akan punya taktik ini.

Kamis, 26 Desember 2013

Inilah Peran Jepang dalam Pertempuran Sengit di Surabaya

POSTED BY Rendra prasetia CATEGORIES: LABEL:  , 
Sebenarnya apakah mungkin Indonesia menang dalam pertempuran sengit dan hebat di Surabaya tanggal 10 November 1945, bila dinalar memang sangat tidak mungkin, akan tetapi walaupun Jepang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun, Jepang memberikan kotribusi yang sangat baik untuk angkatan perang Indonesia pada awal kemerdekaan. Berikut bukti peran jepang terhadap kemerdekaan dan kemenangan di pertempuran 10 November 1945.

Bantuan Jepang kepada Indonesia

bukti kuat adanya kerjasama

Batavia, Kamis, Siaran khusus melalui radio Surabaya selama dua malam telah menganjurkan dengan kata-kata yang jelas bahwa tidak hanya ada Jepang di Surabaya akan tetapi ada beberapa dari mereka yang aktif membantu Indonesia.

Indonesia menggunakan taktik khas Jepang, hal tersebut tidaklah mengejutkan, karena mereka telah dilatih oleh Jepang, tapi lebih dari itu, mereka menembak dengan cara yang baik, seperti saat ujian berperang.

Hal tersebut merupakan bukti yang kuat, harus diakui, walaupun masih kurang, tetapi tetap merupakan bukti yang kuat. Pernyataan tersebut tentus aja harus di keluarkan secara hati-hati karena banyak pengamat yang akan mengatakan bahwa Indonesia sebagai Negara yang kecil dan mamapu bertindak tanpa bantuan dari Negara lain.

Berharap untuk “Datang-Kembali”

Bahwa Jepang memang memiliki organisasi rahasia tertentu yang ditugaskan untuk menghadapai Sekutu. Pemimpin militer berpikir untuk kembali, dan tidak ada yang sesuai dengan tujuan pasca-perang lebih baik mengumpulkan Negara-negara yang bergolak di Asia Tenggara terhadap sentimen Barat dan membutuhkan teknisi kemungkinan atas bantuan dari Jepang.

Jepang minim kemampuan sebagai diplomat, Jepang telah menunjukkan diri mereka di Cina dan tempat lain, bahwa Jepang memiliki bakat alami sebagai agen provokator. Dalam pidato perpisahan yang ditujukan kepada perwira yang mendukung Jepang dan Korps Sukarelawan Pertahanan Indonesia yang dilatih oleh Jepang pada 17 Agustus, Jenderal Nagano menjelaskan bahwa ia mengharapkan mereka untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dengan kekuatan.

Tidak ada yang mengetahui dengan persis dari mana garnisun Jepang Surabaya berasal, yang berjumlah lebih dari 20.000 orang. Markas Besar Angkatan Darat Jepang ke-16 di Bandung menyatakan bahwa mereka telah kehilangan kontak dengan mereka selama beberapa minggu. Harus segera mungkin untuk membuat jelas sampai sejauh mana perlawanan Indonesia ini disebabkan oleh semangat nasionalis dan sejauh mana itu karena manipulasi dan bantuan langsung Jepang.

Pembersihan di Surabaya terus dilakukan secara. Meskipun perlawanan Indonesia dilaporkan menjadi memakin keras. korban kami sangat ringan.

Konferensi Dibatalkan

Reuter menambahkan bahwa pertemuan antara Dr Van Mook, Letnan-Gubernur Hindia Belanda dan pemimpin Republik Indonesia di kediaman Jenderal Chirstison, Panglima Tertinggi Sekutu, kemarin malam dibatalkan pada saat terakhir kantor berita Belanda melaporkan.

Mr Sutan Sharir, Perdana Menteri Indonesia yang baru, berkata “Saya mengerti Inggris membatalkan pertemuan.”

Pihak berwenang Belanda menyatakan mereka “tidak berwenang untuk mengungkapkan alasan mengapa pertemuan itu dibatalkan,” kata lembaga itu. HQ Inggris mengumumkan “Pernyataan lengkap akan dibuat besok.”

The Glasgow Herald

Jumat, November 16, 1946

Peran Perwira Muslim Jepang Dalam Upaya Kemerdekaan Indonesia

                                 Peran Perwira Muslim Jepang
                           Dalam Upaya Kemerdekaan Indonesia


Rendradaily.co Sangat sedikit orang Indonesia yang mengetahui tentang jejak sejarah Islam di Jepang, apalagi mengenai profil Abdul Hamid Nobuharu Ono alias Abdul Hamid Ono, seorang perwira Jepang yang beragama Islam dan bertugas di Jakarta sejak Perang Dunia II.
Agama Islam sendiri sudah hadir di Jepang sejak akhir abad ke 18, khususnya ketika Kekhilafahan Turki Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Abdul Hamid II (1876 – 1909) mengirimkan sebuah kapal angkatan laut, Ertugrul, dengan tujuan memulai hubungan diplomatik serta memperkenalkan Agama Islam ke Negeri Sakura itu pada tahun 1890 M.
Terkait hal ini Agus Lydiarto dalam artikel “Sejarah Islam di Jepang” menulis bahwa kapal Ertugrul mengalami musibah badai besar dalam perjalanan pulang ke Istambul setelah menyelenggarakan pertemuan dengan Kaisar Jepang. Musibah ini menyebabkan lebih dari 550 diplomat dan awak kapal kekhalifahan Turki Ottoman meninggal dunia, termasuk Laksamana Othman Pasha yang memimpin misi diplomatik tersebut.
Abdul Hamid Ono terlibat sangat aktif dalam upaya diplomasi yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim untuk membebaskan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul U’lama (PBNU), Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dari tahanan pihak militer Jepang. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, itu ditahan oleh penguasa militer dari Negeri Matahari Terbit sejak tahun 1942 ketika mulai menjajah wilayah Hindia-Belanda (Indonesia).
Peran penting Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur komunikasi dan diplomasi antara pihak Ponpes Tebuireng dengan para perwira Jepang terlihat jelas dalam buku Seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) yang menjelaskan bahwa ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Asy’ari. Beliau bertugas di Gresik, Jawa Timur, semasa pendudukan Belanda dan sering berkunjung ke Ponpes Tebuireng (hlm 72, 2011).
Hal senada juga dinyatakan oleh Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasyim, yang memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH. Wahid Hasyim, putra sulung Hadratus Syaikh, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratus Syaikh dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah beliau digelandang dari Ponpes Tebuireng. 
Dengan demikian perubahan pandangan Jepang terhadap organisasi keagamaan dengan tidak menganggapnya lagi sebagai ancaman terhadap pendudukan mereka di Indonesia merupakan hasil dari upaya lobi, diplomasi dan pendekatan intensif yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Abdul Hamid Ono terhadap para perwira pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi kolaborasi politik antara sebagian besar kalangan ummat Islam di Indonesia dengan para perwira pendudukan Jepang melalui pembentukan sejumlah organisasi dan birokrasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Kantor Urusan Agama (Shumubu), Majalah Soeara MIAI dan PETA (Pembela Tanah Air).
Bahkan pasukan paramiliter khusus untuk ummat Islam seperti Hizbullah (Laskar Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) juga dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi pengganti MIAI, atas izin pemerintah Jepang.
Terkait hal ini Prof. Harry Jundrich Benda menjelaskan dalam bukunya, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (1980) bahwa sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. Suatu pameran dan kongres Islam telah diadakan di Tokyo dan Osaka pada November 1939 dengan dihadiri oleh delegasi MIAI dari Indonesia, bahkan Prof. Kanaya, seorang ahli Islam, juga berangkat ke Indonesia untuk memperkuat ikatan ummat Islam kedua bangsa segera setelah kongres selesai.
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae itu dijelaskan juga tentang pendekatan Jepang terhadap ummat Islam di Indonesia yang dilakukan secara gencar dengan menekankan persamaan antara Shinto dan Islam mengenai konsep Hakkoichiu (Persaudaraan Sejagad), silaturrahmi dengan para pemuka MIAI, dan membuka Shumubu.
Adapun langkah-langkah strategis lainnya ialah dengan menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des in Des yang mewah dan menampilkan ‘Haji-haji Tokyo’ seperti Abdul Hamid Ono, Abdul Mun’im Inada, Muhammad Taufik Suzuki dan Yusuf Saze serta mengizinkan terbitnya majalah Soeara MIAI sejak januari 1943.
Huda Nuralawiyah yang meresensi buku ini pun menyatakan bahwa bendera PETA bukanlah merah-putih melainkan bulan sabit di atas matahari terbit yang melukiskan perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis barat yang Kristen. Peta merupakan angkatan bersenjata Indonesia pertama yang dibentuk Jepang (hlm 174-175).
Bahkan Gunseikan memutuskan bahwa hari Jum’at libur setengah hari bagi kantor pemerintah sejak 1 Mei 1945, mulai dicetaknya Al-Qur’an yang pertama kali di Negeri Garuda pada 8 Juli 1945 dan didirikannya Universitas Islam Indonesia (UII) dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua.
Dengan demikian Abdul Hamid Ono, Prof. Kanaya dan perwira-perwira Muslim Jepang lainnya merupakan pihak yang sangat berperan penting dalam mendekatkan hubungan antara umat Islam di Indonesia dan Jepang serta menjadi penyambung, penghubung sekaligus kolaborator antara kepentingan ummat Islam di Indonesia dengan penguasa militer Jepang.
Penulis:
Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P - Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia
Anggota Forum Alumni (Forluni) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI dan Ikatan Sarjna Nahdlatul U'lama (ISNU)