sejarah pulau owi
Jayapura, (18/11)—Pulau Owi, “Surga” Tersembunyi di Tanah Papua -Pulau Owi memiliki peran yang sangat strategis dalam Perang Dunia Kedua bagi pasukan Sekutu untuk mengalahkan Jepang, di wilayah Pasifik dan Asia Tenggara. Bermodalkan nilai sejarah yang sangat besar inilah, maka tidak berlebihan apabila diimpikan Pulau Owi menjadi titik utama pariwisata di masa depan.
Apabila, keindahan alam lautnya juga sangat mempesona. Pulau karang ini dikelilingi oleh tiga Taman Laut, yakni Padaido, Pulau Rani-Mapia, dan Pulau Meos Indi. Dengan demikian Pulau Owi dianggap dapat menjadi sekaligus obyek wisata sejarah, wisata bahari, dan wisata budaya, dan menjadi salah satu penghela gerbong ekonomi mensejahterakan Papua.
Jenderal Douglas MacArthur sebagai Panglima Wilayah Pasifik Barat Daya pasukan Sekutu Amerika Serikat berpendapat, bahwa untuk melumpuhkan Jepang harus diputus nadi kekuatannya pada Pulau Luzon, Filipina. Maka markas Komando Sekutu dipindah dari Brisbane, Australia, ke Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Dari sini, diharapkan dengan strategi “Loncat Katak (frogleap)”, melalui Biak dan Morotai, dapat merebut Filipina.
Teknologi pesawat tempur saat itu, memerlukan titik-titik pengisian bahan bakar, diantaranya untuk merebut Biak yang diduduki oleh 11.000 tentara Jepang. Pasukan Dai Nippon tersebut bermarkas di goa-goa, yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Untuk itu ditemukanlah sebuah pulau karang yang sangat ideal. Yakni sepi terpencil, tidak jauh dari Biak, relatif landai dengan tekstur karang keras berpasir, dan menyimpan air tawar.
Target waktu gerakan pasukan Sekutu dari Papua Nugini ke Filipina harus tuntas di akhir tahun, maka pada Mei 1944 itu pula pasukan Zeni dari Sekutu dalam tempo satu minggu menyelesaikan tiga landasan pacu pesawat tempur di Pulau Owi. Hancuran karang ditebar, lalu disiram dengan air laut, maka menjadi landasan pesawat yang cukup keras.
Dalam bukunya “Keajaiban Pulau Owi” itulah Freddy Numberi menguraikan kisah Perang Dunia Kedua terkait dengan peran sejarah Pulau Owi secara detail. Dirangkai pula dengan potensi dan impian indahnya untuk menggali “mutiara” pulau karang yang menarik tersebut menjadi destinasi wisata bagi Papua, lengkap dengan rencana strategisnya.
Wilayah Tanah Papua memiliki potensi kekayaan pariwisata yang sangat luar biasa besarnya, apabila dikelola secara professional, arif dan bijaksana, hal itu akan menghasilkan devisa yang sangat besar bagi Negara, termasuk bagi kesejahteraan masyarakat Papua, diantaranya adalah obyek wisata sejarah di Pulau Owi. Pulau Owi memang memiliki potensi besar untuk tumbuh Keajaiban Pulau Owi.
Dalam rangka pengembangan Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata di Wilayah Tanah Papua, bagi para pengusaha dan kalangan stakeholder yang lain dapat diberikan kemudahan-kemudahan sebagai insentif guna menunjang pembangunan pulau tersebut. Beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memilih Pulau Owi sebagai salah satu obyek wisata berbasis sejarah dan kepariwisataan Papua pada umumnya
Minggu, 29 Desember 2013
sejarah pulau owi
sejarah pertempuran memperebutkan henderson field
Pertempuran memperebutkan Henderson Field
| Pertempuran memperebutkan Henderson FieldBagian dari Mandala Pasifik pada Perang Dunia II | |
| Tanggal :23-26 Oktober 1942Lokasi : Guadalcanal di Kepulauan Solomon Koordinat : 9°25′44″S 160°3′7″T 9.42889°S 160.05194°T -9.42889; 160.05194 Hasil : Kemenangan yang menentukan bagi Sekutu (Amerika Serikat) | |
| Pihak Yang Bertikai | |
| Amerika Serikat | Kekaisaran Jepang |
| Komandan | |
| Alexander Vandegrift, Chesty Puller | Harukichi Hyakutake, Masao Maruyama Yumio Nasu † |
| Kekuatan Pasukan | |
| 23,088[1] | 20,000[2] |
| Korban Jiwa dan Kerugian | |
| 61–86 gugur, 1 kapal tunda, 1 kapal patroli karam, 3 pesawat hancur[3][4] | 2,200–3,000 gugur, 1 kapal penjelajah karam, 14 pesawat hancur |
Latar Belakang
Kampanye Guadalcanal

Pergerakan Pasukan
Pertempuran
Prelude
- Parameter Lunga di sekitar Henderson Field pada akhir September 1942 sebelum kedatangan Resimen Infantri 164 AS. Sungai Lunga terletak di tengah-tengah peta. Sungai Matanikau ad di sebelah kiri peta (tidak terlihat).
Serangan Nakaguma terhadap Matanikau
Serangan pertama Maruyama terhadap parameter
Serangan laut dan udara
- Pesawat tempur F4F Wildcat milik Marinir AS berangkat dari Henderson Field untuk menyerang pasukan Jepang
Serangan ke dua Maruyama terhadap parameter
Serangan Oka
Aftermath
Mundur
- Jenazah para prajurit dari Resimen 16 dan 29 Jepang memenuhi medan pertempuran setelah serangan mereka yang gagal pada tanggal 25-26 Oktober
Pertempuran Kepulauan Santa Cruz
Kejadian-kejadian berikutnya
Sabtu, 28 Desember 2013
sejarah rpkad vs sas
Pertempuran Kopassus VS SAS di Kalimantan
Tahun 1963 Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno memerintahkan Panglima TNI menggelar Operasi Dwikora untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia.

Pasukan RPKAD sekarang Kopassus dalam penugasan misi Dwikora di Kalimantan (foto :museumindo.wordpress.com )
Tidak ada pernyataan perang resmi seperti saat operasi militer Trikora merebut Irian Barat. Karena itu TNI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Walau disebut gerilyawan, sebagian besar anggotanya justru pasukan elit TNI. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang disebut Kopassus. Selain itu ada juga Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU. Seragam TNI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Indonesia.
"Semua identitas TNI dicabut. Jangan sampai ketahuan kami pasukan TNI. Kami dibuatkan identitas baru, pokoknya kelahiran Kalimantan. Pakaian TNKU hijau-hijau dengan topi rimba," kata Nadi, seorang bintara mantan anggota RPKAD saat berbincang dengan merdeka.com.
Tugas gerilyawan ini mengganggu perbatasan di sepanjang Sabah dan Serawak. Mereka juga bertugas melatih warga Kalimantan Utara tata cara bertempur.
Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan Inggris. Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS). Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia. Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.

Pasukan SAS Inggris yang diterjunkan di Borneo (Kalimantan)
Komandan Pasukan Inggris di Malaya, Mayor Jenderal Walter Walker merasa perlu mendatangkan SAS karena merasa hanya pasukan elite ini yang bisa membendung pasukan gerilya asal Indonesia. Walker tak mau jatuh korban lebih banyak di kalangan Inggris.
Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru. Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut. Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran. Kadang gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha. Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.
Dalam sebuah pertempuran di Kampung Sakilkilo tanggal 10 Juli 1964, tercatat TNKU meraih kemenangan. Saat itu dua peleton Gurkha melawan satu peleton TNKU. Dalam serangan tersebut, TNKU berhasil menewaskan 20 orang Gurkha tanpa satu pun korban jatuh di pasukan gerilyawan.
Dalam sebuah misi yang lain, kepala Komandan Pasukan Gerilya Mayor Benny Moerdani sempat dibidik penembak jitu SAS. Untungnya SAS tak jadi melakukan tembakan. Kalau gugur di Serawak, tentu Benny kemudian tak akan jadi Panglima ABRI di kemudian hari.
Pasukan Indonesia pun sempat menangkap prajurit SAS dalam sebuah pertempuran. Rencananya tawanan ini akan dibawa ke Jakarta sebagai bukti ada keterlibatan Inggris. Namun karena sulitnya medan, tawanan ini keburu tewas di jalan.
Dari pertempuran di Kalimantan ini pula kemudian SAS belajar mengembangkan taktik gerilya bertempur di hutan. Kalau tak pernah berhadapan dengan pasukan elit Indonesia, mereka tak akan punya taktik ini.
Kamis, 26 Desember 2013
Inilah Peran Jepang dalam Pertempuran Sengit di Surabaya
Peran Perwira Muslim Jepang Dalam Upaya Kemerdekaan Indonesia
Peran Perwira Muslim Jepang
Dalam Upaya Kemerdekaan Indonesia
Rendradaily.co Sangat sedikit orang Indonesia yang mengetahui tentang jejak sejarah Islam di Jepang, apalagi mengenai profil Abdul Hamid Nobuharu Ono alias Abdul Hamid Ono, seorang perwira Jepang yang beragama Islam dan bertugas di Jakarta sejak Perang Dunia II.
Agama Islam sendiri sudah hadir di Jepang sejak akhir abad ke 18, khususnya ketika Kekhilafahan Turki Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Abdul Hamid II (1876 – 1909) mengirimkan sebuah kapal angkatan laut, Ertugrul, dengan tujuan memulai hubungan diplomatik serta memperkenalkan Agama Islam ke Negeri Sakura itu pada tahun 1890 M.
Terkait hal ini Agus Lydiarto dalam artikel “Sejarah Islam di Jepang” menulis bahwa kapal Ertugrul mengalami musibah badai besar dalam perjalanan pulang ke Istambul setelah menyelenggarakan pertemuan dengan Kaisar Jepang. Musibah ini menyebabkan lebih dari 550 diplomat dan awak kapal kekhalifahan Turki Ottoman meninggal dunia, termasuk Laksamana Othman Pasha yang memimpin misi diplomatik tersebut.
Abdul Hamid Ono terlibat sangat aktif dalam upaya diplomasi yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim untuk membebaskan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul U’lama (PBNU), Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dari tahanan pihak militer Jepang. Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, itu ditahan oleh penguasa militer dari Negeri Matahari Terbit sejak tahun 1942 ketika mulai menjajah wilayah Hindia-Belanda (Indonesia).
Peran penting Abdul Hamid Ono sebagai pembuka jalur komunikasi dan diplomasi antara pihak Ponpes Tebuireng dengan para perwira Jepang terlihat jelas dalam buku Seri Tempo: Wahid Hasyim (Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan) yang menjelaskan bahwa ia adalah pejabat dinas rahasia Jepang yang dekat dengan keluarga Asy’ari. Beliau bertugas di Gresik, Jawa Timur, semasa pendudukan Belanda dan sering berkunjung ke Ponpes Tebuireng (hlm 72, 2011).
Hal senada juga dinyatakan oleh Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Hidup Wahid Hasyim, yang memastikan peran penting Abdul Hamid Ono dalam membuka pintu komunikasi dan diplomasi agar KH. Wahid Hasyim, putra sulung Hadratus Syaikh, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah dapat menemui pembesar-pembesar Negeri Samurai di Jakarta. Akhirnya komunikasi dan diplomasi yang dilakukan oleh keduanya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Hadratus Syaikh dari terali besi oleh pihak Jepang pada 18 Agustus 1942, empat bulan setelah beliau digelandang dari Ponpes Tebuireng.
Dengan demikian perubahan pandangan Jepang terhadap organisasi keagamaan dengan tidak menganggapnya lagi sebagai ancaman terhadap pendudukan mereka di Indonesia merupakan hasil dari upaya lobi, diplomasi dan pendekatan intensif yang dilakukan oleh KH Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Abdul Hamid Ono terhadap para perwira pendudukan Jepang di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi kolaborasi politik antara sebagian besar kalangan ummat Islam di Indonesia dengan para perwira pendudukan Jepang melalui pembentukan sejumlah organisasi dan birokrasi seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Kantor Urusan Agama (Shumubu), Majalah Soeara MIAI dan PETA (Pembela Tanah Air).
Bahkan pasukan paramiliter khusus untuk ummat Islam seperti Hizbullah (Laskar Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah) juga dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi pengganti MIAI, atas izin pemerintah Jepang.
Terkait hal ini Prof. Harry Jundrich Benda menjelaskan dalam bukunya, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (1980) bahwa sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam telah muncul di Jepang. Suatu pameran dan kongres Islam telah diadakan di Tokyo dan Osaka pada November 1939 dengan dihadiri oleh delegasi MIAI dari Indonesia, bahkan Prof. Kanaya, seorang ahli Islam, juga berangkat ke Indonesia untuk memperkuat ikatan ummat Islam kedua bangsa segera setelah kongres selesai.
Dalam buku yang diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae itu dijelaskan juga tentang pendekatan Jepang terhadap ummat Islam di Indonesia yang dilakukan secara gencar dengan menekankan persamaan antara Shinto dan Islam mengenai konsep Hakkoichiu (Persaudaraan Sejagad), silaturrahmi dengan para pemuka MIAI, dan membuka Shumubu.
Adapun langkah-langkah strategis lainnya ialah dengan menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des in Des yang mewah dan menampilkan ‘Haji-haji Tokyo’ seperti Abdul Hamid Ono, Abdul Mun’im Inada, Muhammad Taufik Suzuki dan Yusuf Saze serta mengizinkan terbitnya majalah Soeara MIAI sejak januari 1943.
Huda Nuralawiyah yang meresensi buku ini pun menyatakan bahwa bendera PETA bukanlah merah-putih melainkan bulan sabit di atas matahari terbit yang melukiskan perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis barat yang Kristen. Peta merupakan angkatan bersenjata Indonesia pertama yang dibentuk Jepang (hlm 174-175).
Bahkan Gunseikan memutuskan bahwa hari Jum’at libur setengah hari bagi kantor pemerintah sejak 1 Mei 1945, mulai dicetaknya Al-Qur’an yang pertama kali di Negeri Garuda pada 8 Juli 1945 dan didirikannya Universitas Islam Indonesia (UII) dengan Abdul Kahar Muzakkir sebagai ketua.
Dengan demikian Abdul Hamid Ono, Prof. Kanaya dan perwira-perwira Muslim Jepang lainnya merupakan pihak yang sangat berperan penting dalam mendekatkan hubungan antara umat Islam di Indonesia dan Jepang serta menjadi penyambung, penghubung sekaligus kolaborator antara kepentingan ummat Islam di Indonesia dengan penguasa militer Jepang.
Penulis:
Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P - Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia
Anggota Forum Alumni (Forluni) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI dan Ikatan Sarjna Nahdlatul U'lama (ISNU)
Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P - Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia
Anggota Forum Alumni (Forluni) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UI dan Ikatan Sarjna Nahdlatul U'lama (ISNU)











http://rendraprasetia.blogspot.com/
18.4.13